Selasa, 25 Juni 2013

The Shadow and Me

Hai hai..
Alohaa..

Well, malam ini no more katarsis dulu.. Hehe.. Gue mau menyajikan satu cerita ga jelas gue lainnya. Selamat membaca, guys.. :) ;)




Sendiri. Lagi, aku dalam kemurunganku yang tak kuketahui kapan akan berakhirnya. Kembali kulihat bayangan itu. Ia memang tak pernah bersalah. Hanya aku. Hanya diriku dengan begitu banyak kekecewaan yang kualami. Bayangan itu hanya mengikuti. Tapi kenapa aku selalu menyalahkannya? Di tepi jendela kamar dengan gorden yang berkibar tertiup angin lembut sore hari, aku singgah dengan seluruh kesahku. Kutatap lagi langit itu. Jelas terlihat mega-mega itu memandangiku dengan kelembutannya yang seputih kapas. Apa artiku? Kutanyakan pertanyaan yang takkan terjawab pada uap yang berenang-renang itu. Oke, mungkin ini terlalu dan sangat sepele. Hanya saja ketika kutahu apa rahasia umum tentang aku yang mereka simpan, tak bisa kulihat wajah-wajah yang seolah tak berdosa. Lagi, aku dikecewakan. Ahh.. kini sang bulan mulai memanggil namaku. Apalagi kini, yang akan ia perintahkan? Belum saja matahari senja menyinari kusamnya raut ini, sang bulan telah meneriakkan perintahnya. Kuhapus segala sisa kecewa dan juga rasa marah yang tertinggal. Lalu kupenuhi permintaan sang bulan itu. Senja segera beranjak pergi saat aku melihatnya di jendela yang lain. Hanya dia yang dapat menghapus sedih dan kecewa serta amarahku. Senja yang indah dan murni. Senja yang menentramkan sekaligus memberiku semangat kembali dengan semburat jingga di sela-sela ombak langit. Tak pernah kulihat senja seindah ini. Meski kukatakan hal itu setiap aku melihat senja. Terpikirkan lagi untuk menghadapi wajah-wajah seolah tak berdosa itu. Kini imajiku mulai menjalankan instingnya. Esok, saat kuhadapi wajah-wajah itu, akan kucakar dan kucabik-cabik wajah-wajah itu. Serta merta dengan senyum palsu yang selalu mereka berikan padaku. Kan kupaksa mulut itu untuk berbicara. Kau pikir dirimu begitu suci? Menggunjingkan aku dengan penuh gairah kepuasan hingga tak lagi menjadi rahasia antara kau dan aku. Tak pernah aku merasa begitu dikhianati seperti saat ini. Apa yang kau pikirkan? Salah dan dosa apa yang kuperbuat padamu hingga kau begitu bahagia melihat keterpurukanku? Lalu aku tertawa. Tawa miris yang entah keberapa kalinya kusuarakan hari ini. Begitu? Seperti itu? Yah.. benar. Tepat sekali. Itu hanya dapat terjadi dalam imajiku saja. Baiklah, kini kita akhiri saja segala sedihku itu. Tak patut lagi amarah menyeruak layaknya asap dalam benakku. Malam itu, aku terlelap dengan kepuasan penyaluran marah dan kecewa yang kubayangkan dalam pikirku. Dan dengan segala ketenangan yang telah senja berikan padaku. Tak pernah sekalipun senja kecewakan diriku. Aku selalu bergegas menemuinya saat mereka semua memberikan sayatan luka padaku. Dan senja selalu menerimaku dengan tangan terbuka dengan segala keagungan dan keindahannya. Sayat-sayat luka itu mulai sembuh, meski kutahu sembuh ini takkan bertahan lama.
Esoknya, aku pergi seperti biasa. Tapi kudengar dia mengatakan sesuatu. “Dia akan dapat yang lebih baik dariku. Aku tahu itu.” Aku tak kuasa menahan untuk tidak menjatuhkan bola-bola kristal ini. Apa yang dia katakan?  Apa maksudmu mengatakan hal itu? Sesak, aku ingin bertanya padanya seperti itu. Kala itu begitu sulit rasanya menghirup udara yang telah bertahun lamanya kuhirup. Kala itu hatiku menjerit, memunculkan begitu banyak tanya yang ingin kulontarkan padanya. Kala itu, aku ingin cepat-cepat menemui senja. Mencurahkan segala keluhku padanya. Tapi senja, kau datang masih begitu lama. Kala itu, ingin kudatangi ia dan kutatap matanya dalam-dalam. Kala itu, aku tak tahu diriku seperti apa. Kulihat bayangan itu begitu menyedihkan. Wajah yang muram. Raut yang seolah ingin meneriakkan segudang makian. Mata yang mengerikan seolah memancarkan api yang akan menelan siapapun yang melihatnya. Aku tak kenal lagi bayangan itu. Siapa dia? Siapa aku? Kuhapus bara api di mata itu dengan kelembutan riak air. Kutatap lagi bayangan itu. Dia mulai kembali. Kubuat seulas senyum tersungging di bibirnya. Kutatap ia dengan senyumnya itu. Walau hanya sebuah senyum paksa, tak mengapa. Itu merupakan suatu perubahan lagi. Kuredakan emosinya itu. Mengingatkan akan titik-titik kebahagiaan yang pernah dialami. Bara itu menghilang. Raut itu menghilang. Wajah itu menghilang. Ahh.. kami memang begitu pandai menyimpan risau yang menggantung. Sebilah pedang telah kuangkat tinggi-tinggi dan kuniatkan untuk membunuh semua rasa itu. Kugoreskan pedang itu. Sakit. Tak kubayangkan sebelumnya hanya dengan satu goresan saja rasanya begitu sakit. Tak kuasa ku menusukkannya. Tak bisa kubayangkan lagi akan sesakit apa rasanya saat pedang itu tertancap begitu dalam. Simpan saja pedang itu dulu. Dengan matanya, bayangan itu mengatakannya padaku. Yah, mungkin kusimpan saja pedang ini dulu. Nanti, saat kulupakan rasa sakitnya, akan benar-benar kubunuh semuanya. Semua rasa itu. Bayangan itu tersenyum. Mendukung keputusan yang kuambil. Aku pun tersenyum. Lebih lebar darinya. Dan kami pun tertawa. Seolah sedang merayakan sesuatu yang luar biasa. Lucu saja. Entahlah, kami merasa lucu saja. Tak berhenti kami tertawa hingga lelah dengan tawa-tawa itu. Kembali menjadi diriku lagi dengan semua tawa bersama sang bayangan itu. Sudahlah. Terlihat sang bayangan seperti berbicara seperti itu dengan matanya. Tak kulihat lagi redup di matanya itu. Sang bulan tak pernah menanyakan kegelisahan ataupun kemurungan yang kualami. Entah bagaimana dengan caranya yang seperti itu, membantuku lebih cepat pulih.
Dalam lelap tidur yang kujalani malam ini, kulihat sang bayangan yang bersenda gurau dengan seseorang. Entah siapa sosok itu, tak bisa kukenali. Namun, aku juga tak tahu mengapa sang bayangan begitu gembira bersamanya. Kemudian aku terjaga di pagi buta yang begitu segar dan penuh dengan kebingungan. Banyak pertanyaan yang muncul menerpa pikiranku. Siapakah sosok itu? Siapakah yang bersama sang bayangan?  Siapa sosok itu yang telah membuat sang bayangan begitu gembira? Aku bergegas melihat langit di jendela yang lain. Tapi kuingat, untuk tetap tenang. Karena semua masih terlelap di alam mimpi masing-masing. Aku melihat sang bayangan ketika aku berada di jendela yang lain. Sang bayangan hanya diam menatapku. Aku membayangkan kisah kami yang selalu bersama sejak waktu yang tak dapat kuingat. Tawa-tawa yang mengumbar dan melayang terbang ke awan. Amarah-amarah yang membara layaknya api yang berkobar dan kemudian tertiup angin ataupun diterpa hujan. Bermain dalam canda serta gurau yang membahana angkasa kehidupan. Lalu biasanya, aku bertanya. Siapakah bayangan itu? Aku tak tahu. Ia tak tahu. Kami tak tahu. Tapi hanya dia satu-satunya bayangan paling menakjubkan dalam perjalanan hidupku. Kulihat lagi langit di jendela yang lain itu. Angin pagi buta menerpa wajahku dengan dinginnya. Kekelaman. Hanya itu yang kulihat di langit. Tapi masih bisa kulihat taburan cahaya bintang menghiasi kekelaman itu. Layaknya sang bayangan yang menghiasi warna hitam dalam hatiku menjadi abu-abu. Kulirik kembali wajah sang bayangan yang tetap bergembira. Kutanyakan perihal mimpiku padanya. Ia hanya menjawab, “Itu kita.” Aku tak mengerti mengapa aku tak bisa mengenali sosokku sendiri bahkan dalam mimpiku sendiri. Mimpi itu tak lagi mengganggu pikiranku. Kembali aku keatas tempat tidurku yang hangat dan nyaman. Kulihat lagi sang bayangan dengan wajahnya yang kusut dan begitu mengantuk ingin melanjutkan tidurnya yang terganggu. Aku bahagia bisa bersama sang bayangan, meski hanya aku yang bisa melihatnya.

~THE END~


Nah, itu dia.. Thanks for coming and reading.. Maaf ya, kalo ceritanya rada aneh atau blur banget. Well, this is me, and this is my style. See ya in my other crazy story.. Haha..

Merci
Stay cool

Mere-Meredith-Me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar