Hai , aloha..
Selamat pagi buta, teman. Well, gue nulis ini tanggal 29 desember jam 1 pagi. Nulis di laptop, karena muak dengan internet yang susah buat dibuka. Masa’ cuma bisa buka desktop google aja -_- huh. Ga tau bakal kapan gue publish ini tulisan. Gue bakal ngasih judulnya pas nanti mau di post di blog aja. Kali ini gue mau cerita. Sebenernya banyak hal yang pengen selalu langsung gue tulis ketika gue pengen nulis. Namun keadaan sekitar yang ga pernah memungkinkan untuk menulis. Gue mau cerita. Sebelumnya gue mau bilang, entah kenapa blog ini isinya suram semua. Kayaknya ga ada cerianya sama sekali. Ga tau lah. Seperti biasa, ini ga penting. Tapi ini penting bagi gue di masa depan buat baca tulisan ini lagi untuk menilai gue yang sebelumnya. Atau buat orang-orang yang suka nganalisis tulisan sarat makna yang gue ga tau bakal dipahamin semua orang atau enggak. Maaf aja kalo topiknya loncat-loncat atau ga berurutan. Gue mulai benci sama yang namanya topik atau hal yang dibahas sesuai urutan. Gue kan maunya loncat-loncat, terus kenapa? Gue nulis ini pengennya sih kemarin. Sekitar jam 9 – 10 malem. Tapi lagi-lagi ga memungkinkan, jadi gue main plant vs. Zombie dulu di laptop sampe semua orang udah pergi tidur.
Sebenernya apaan sih, yang mau gue ceritain? Banyak (as always) dan gue bingung harus mulai dari mana (as always). Gue sedih. Gue sakit kepala. Banyak hal yang bikin gue nangis diem-diem (for ex. NOW). Well, gue kepikiran buat ceritain diri gue di kehidupan sehari-hari. Gue semester 7. Psikologi. Semester yang udah tinggi banget. Dan bahkan suatu hal yang luar biasa, nilai-nilai gue masih standar meski gue ga pengen masuk di fakultas ini. Awalnya gue mencoba. And as always, I am a person whom easily loves something. I love it. I love this major. I love everything learned here. I love my friends, they are such a nice friends. I love the environment at campus. Everything is lovable. I joined organizations, even I met someone I like there. Love, love, love. Really full of love eventhough I had uneasy tasks to do for college. Everyday, I got something new. Semua hal baru, semua temuan-temuan baru. Semua cerita-cerita baru. Semua hal baru yang menarik. Semakin tinggi semester, semakin banyak hal yang bisa gue pelajarin tentang seorang individu. Gue selalu berkaca seperti apakah diri gue, ketika gue belajar tentang itu semua. Yap, gue tau apa yang gue suka, bahkan sebelum gue mendalami semua mata kuliah gue. Tapi dengan mendalami ini semua, gue kayak dapet dukungan (atau mungkin justru bukan dukungan?) tentang diri gue. It’s like... suatu hal yang memastikan bahwa yeah that’s right. What you believe about yourself is true. Somekind of that.. Dan ga ada satupun dari diri gue yang cocok in this major. Gue ga tau, apa gue yang udah ninggalin what I loved ones or something else? Jenuh? Don’t know. Apa karena gue terlalu sibuk sama kuliah and organizations, gue ninggalin buku, musik, gambar? Gue pikir gue udah menghibur diri dengan banyak nonton film setahunan ini. Tapi mungkin my inner? You’re not satisfied with that, huh? Hampir setahun gue merindukan cerita yang baru gue tulis beberapa lembar, trus ilang ga bisa dibuka lagi (tapi gue berharap banget, bisa dibuka lagi. Please, God. Gue mohon, dengan sangat). Ditambah satu hal yang ga akan mungkin bisa gue gapai (baca “Malaikat, Dia, dan Aku”). Gue mulai ga terlalu peduli sama tugas. And I hate this. Am I live (even this question is always replaying in my mind)?
Entah kenapa, (ga tau. Gue ga tau. Please anyone, tell me) gue mulai ga peduli sama ini semua. Gue rindu sama pensil. Gue ga tau apa gue masih inget gimana cara gunainnya? Gue rindu sama musik, yang selalu bisa bikin warm my heart. Bukan musik biasa, tapi musik yang gue jalani. Kalo cuma musik biasa, gue bisa dengerin setiap saat cause it play in my mind even without the music itself. Kayaknya bakal banyak kata ‘even’ di dalam tulisan ini. Dan udah sejauh ini, gue kelewat yakin kalo gue emang ga cocok disini. I think I should study in art college. But my mom said, ‘that’s your hobby. It’ll easier for you later.’ Gue tau apa maksudnya. Dia mikir, kalo hobby like that ga perlu sekolah formal like this crazy little shit. So I still travel far here with this kind of emotions. I’ll try to do something that can warm my heart. Cause now it’s cold down there. Well then, gue harus cari cara buat bertahan. It’s happened, and my dictionary is already erase the word of regret. (I’m still sobbing here)
Ini gue mau ceritain hal lain lagi. Well, I said ‘much’, wasn’t it? I’ve watched movies or read books about schizcoprenics. Shutter Island, Comic 8 (indonesian), pintu terlarang, much more (it’s not time to tell it one by one). Selalu kesimpulan yang sama yang gue tarik dari semua itu (karena ngambil point of view nya the patient-all that films or books). Jadi, mereka berkhayal? Imajinasi? (well, maybe I should continue it in the morning or afteernoon. Guess I feel wanna get cataplexy after blowing out the emotions before) So here I am.. back for writing about it more and more. Jadi, apa yang mereka pikirin itu ga nyata. Emangnya apa sih yang bisa menguur suatu kenyataan? What makes you belive that you are real for real? That you are not the part of that imaginations? And even that you are not the imaginations it self? Or maybe you are the one who creates the imaginations? Gue sering berpikir. Apa? Ini apa sih yang gue liat di kehidupan sehari hari? Apakah benar ini adalah hidup? Kehidupan? Gimana lo bisa yakin? Dan gimana bisa lo yakin, bahwa apa yang lo yakini itu nyata kebenarannya? Emang apa, yang bisa dibilang kebenaran? Kenyataan? Gimana kalo ini semua adalah suatu ilusi, dan gue adalah bagian dari imajinasi orang lain yang mungkin suatu saat bisa hilang tanpa gue tau. Terus apa yang dibilang ada? Ga tau. Bahwa waktu terus berputar dan hidup semakin menipis, tapi gue ga tau apa artinya. Atau apa Cuma gue yang terlalu berlebihan buat memahami apa yang terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang seharusnya terjadi? Atau justru gue belum cukup dewasa untuk mengerti kata ‘kenapa’ dan ‘makna’? Dikaitin sama masalah-masalah yang gue alamin, yang terjadi sama gue (dan setiap orang – karena setiap orang pasti punya masalah) gue mikir, kenapa gue ga jadi kayak mereka aja? Terlepas dari masalahkah? Atau menambah yang namanya sakit? Kalo dari sudut pandang lain, gue ngeliat bahwa ga ada yang namanya sakit. Hanya ada alur kehhidupan, dimana lo mengalaminya karena suatu hal. Ini benar, atau gue terlalu filosofis?
Dan sekarang banyak kata ‘atau’ disini. Gue suka munculin pertanyaan-pertanyaan. Gue bakal suka banget kalo ada yang bisa jawab secara menyenangkan. Sampai gue bisa ngerti jawaban kata ‘kenapa’ dan pembedahan kata ‘makna’. Well, mungkin menyenangkan bisa dapet jawaban-jawaban itu secara langsung sambil berdiskusi. Tapi siapa sih yang suka dengan pertanyaan-pertanyaan kayak gitu? Orang-orang mikirin hal lain. Mikirin kehidupan, mikirin rutinitas. Mikirin apa yang seharusnya ga perlu dipikirin (menurut gue). Dan justru orang lain beranggapan kenapa gue harus mikirin hal yang ga perlu mereka pikirin. Apa pentingnya? Apa maknanya? Well, bagi gue itu penting. Penting, sampe bisa bahagia kalo gue mengerti akan makna dari setiap kata. Makna dari setiap hal. Makna dari apa yang terjadi. Gue udah selesai. Ga tau lagi apa yang harus ditulis. Gue tau, ini tulisan terlalu banyak kata tanya. Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak hal yang ga dimengerti.
So here I am. Sampai ketemu di tulisan berikutnya
Merci,
Mere
Tidak ada komentar:
Posting Komentar