Haii.. Alohaa J
Selamat malam
For honest,
gue menulis artikel ini di laptop dulu karena belum ada kuota internet. Kayaknya
baru beberapa jam lagi baru bisa di post. Post kali ini gue mau bercerita that
based on true story of my life (apa sih yang ga berdasrkan true story dari
semua cerita yang gue tulis disini? Hahah). Tadinya gue ga keinget sama
peristiwa ini (peristiwa disini bukan berarti peristiwa yang berdampak tertentu),
yang mau gue ceritain. Tapi karena ada hal kecil, gue jadi merasa pengen nulis
ceritanya disini. Gue pengen cerita aja tentang hal itu which is never told to
anybody. Yeah.. anybody (karena mungkin ga penting-penting banget). Dan kini
pengen gue ceritain banget aja (‘banget’ pake ‘aja’, gue ga tau orang selain
gue bakal ngerti apa enggak). Well then, I’ll start the story telling..
Hari itu gue
lagi jalan di Lantai Fakultas gue, entah mau kemana gue lupa. Masa itu, gue
masih ikut lebih dari satu organisasi. Jadi gue sibuk gitu deh.. (pasti
kedengeran sombong, padahal maksudnya enggak). Well, kayaknya gue lagi mau
berjalan mengunjungi salah satu sekretariat organisasi gue. But then, there was
this girl suddenly came into me. Raut mukanya sedih ga karuan (di mata gue),
dan matanya berteriak minta tolong. She said, “Ah, Sunia.. Kamu sibuk ga?”,
sementara gue cuma diam memperhatikan ekspresinya. “Kamu bisa ikut aku ga
sebentar? Aku mau cerita, aku harus cerita.”, she continued. Gue udah selesai
kuliah dan ga terburu-buru untuk mengunjungi sekretariat salah satu organisasi
gue itu, so I said yes. Dia ngajak gue ke tempat yang jauh dari jangkauan
orang- orang. Jauh. But still at my faculty floor. Kalo sempet, gue bakal kasih
gambaran tempatnya (a real pict that I draw). Kita disana. Sepi. No one there,
no one came. Gue pikir, ini pasti sesuatu yang berat buat dia. Sampai dia ga
mau cerita di lorong kampus, atau di tangga darurat (haha-well, kalo lo ngerti
kenapa gue ketawa).
Sesampainya
kita disana, single sentence that she said was, “Sunia, tolong peluk aku.” But
I stood silent. “Sunia aku sedih banget, please peluk aku.”, dia mengulanginya.
Gue ga terlalu suka pelukan (even with a girl) sama orang asing (stranger here
means everybody outside keluarga inti gue). Itu ga nyaman di gue. Well, maybe
I’ll talk about this later. Kembali ke saat itu, gue cuma bilang enggak. Gue
menolaknya. Dia, gue tau, sedikit kesal. Karena semua orang pasti bakal meluk
kalo ada yang ngomong gitu. Apalagi sama temen yang lagi sedih banget. Tapi gue
enggak. “Aku lagi sedih banget, Sun. Kamu ga mau meluk aku? Kenapa?”, dia nanya
dengan mata berkaca-kaca karena hal yang sedang dia sedihkan dan mungkin karena
gue yang ga mau meluk dia. “Enggak. Karena aku mau kamu kuat. Aku ga akan selalu
ada di sisi kamu. Dan ga akan selalu ada orang yang bakalan ada di sisi kamu
saat kamu sedih. Kamu cuma bisa mengandalkan diri kamu sendiri. Mungin aku bisa
aja meluk kamu. Tapi kayaknya untuk sedih kamu yang saat ini, kamu ga butuh
pelukan itu.”, gue cuma bisa bilang itu ke dia. Matanya semakin berkaca-kaca.
Gue ga tau apa yang ada dipikiran dia, tapi ga lama dia jongkok sambil nangis.
Sementara gue cuma ngeliatin doang di depannya. Ga lama dia begitu, cuma
beberapa detik, kemudian dia berdiri dan mengajak gue buat duduk di sebuah
tempat yang bukan untuk duduk (karena emang ga ada tempat duduk). Kayak semacam
pipa gitu deh, yang gue inget warnanya merah.
Setelah kita
duduk, dia mulai menceritakan kisah kesedihannya sambil nangis dan pake tisu
(tisunya sendiri. Bukan yang kayak di film-film, di kasih tisu. Hahah). Gue
hanya mendengarkan tanpa berbicara banyak. Yang keluar dari mulut gue saat itu
hanyalah ‘ya’, ‘oke’, ‘terus’, dan ‘mhmm’. Cerita dia tentang kekasihnya gitu
deh.. yang intinya, dia merasa serba salah karena selalu di khianati. Dulu dia
pacaran tanpa rasa cinta, terus pacarnya punya gandengan lain. Terus dia denger
orang bilang padanya, seenggaknya harus ada rasa cinta, tapi jangan sepenuh
hati karena nanti sakit. Pacarnya yang berikutnya pacaran sama sahabatnya.
Nasihat lain bilang, harus mencintai sepenuh hati. Pacarnya yang saat ini,
punya hubungan sangat dekat tanpa status dengan yang dulunya temen deketnya.
Well, sebenernya gue ga begitu mengerti masalah-masalah yang itu. Karena gue ga
punya pengalaman, menganggap masalah tersebut adalah masalah klasik, dan yahh..
gue bukan orang yang bisa menerapkan nasihat dari orang lain. Tapi gue juga
mengerti kalau gue ada di posisi dia rasanya kayak gimana. Dan orang lain
(maksudnya yang pasti bukan gue), kalau cerita sama orang lain (tentang
kesedihan atau masalah lain) bukan sekedar melepaskan emosi, tapi juga ‘minta
saran’.
Lo tau apa
yang gue lakuin? Ngasih ucapan ‘sabar, yaa’ atau ‘semua pasti berlalu’ atau
ngasih saran tertentu? Hah. Gue ga ngasih satupun dari itu. Gue justru ngasih
pertanyaan (ga tau ya, ini tidak direncanakan. Gue spontan aja nanya). “Menurut
kamu, sia-sia itu ada ga?”, gue nanya. Gue nanya tentang kesia-siaan karena
dari ceritanya, dia merasa menyesal telah berpacaran dengan pacarnya itu. Then
she answered dengan beberapa saat berpikir, “Ga tau.. ga ada kali yah?”. “Coba
kamu pikirin baik-baik dulu deh. Kamu merasa sia-sia ga, udah pacaran sama
dia?”, gue nanya lagi (ahyaaaa.. fyi, gue kenal dia karena pacarnya adalah
temen gue. Terus temen gue pacaran sama dia, terus gue baru kenalan- gue lupa
gimana tepatnya bisa kenalan dan agak deket with this girl). Dia diam.
Sementara gue bengong menatap langit. Sedetik, dua detik. Semenit. “Kayaknya
enggak deh, Sun. Kalo aku ga kenal sama dia, ga pacaran sama dia, aku ga kenal
sama kamu. Aku ga bakal bisa deket sama kamu.”, dan dia menyebutkan beberapa
kalimat lagi yang sekarang gue udah lupa apaan aja itu. “Terus, ada ga
pelajaran yang bisa kamu ambil dari kejadian ini?”, gue kembali bertanya. Dan
dia mengatakan beberapa hal yang intinya, banyak hal yang bisa dia pelajari
atas kejadian ini. Gue lupa banget kata-kata tepatnya dari dia itu apa. Jadi
gue bilang lagi, “So, ga perlu sedih berlarut-larut, kan, setelah ini?”. After
all of that, gue bercerita banyak hal tentang kehidupan ke dia. Sambil liat
langit, dan ditiup-tiup angin. Dan perasaan leganya dia. Kadang dia suka
bilang, yang intinya ‘dia bisa tenang dan ngerti cuma dengan tiga pertanyaan
dari gue’. Dan seringkali gue ga ngerti ketika dia ngomong kayak gitu. Baru
ngeh sekarang setelah gue rewind. Jadi gue cuma nanya doang, ya? Kalo
dipikir-pikir, ngapain ada gue? -__-
Well, that’s
all. Gue cerita ini karena rasanya ada sesuatu yang bagus dari cerita ini. Tapi
gue ga tau itu apa. Jadi gue ceritakan sajaa~ Okay, see ya in the next story.
Kiss love and hug.
nb: ternyata gue ga sempet buat gambaran tempatnya. Sorry. Tulisan ini baru gue tulis semalem.
Merci,
Meredith
Sfazmi
Cewe itu... pasti orang kuat ;)
BalasHapusYeah, she is really a though girl..
Hapus